Minggu, 27 Maret 2011

Potret Dipinggir Pantai

Suasana pagi yang begitu menyejukkan memperlihatkan suasana alam yang begitu indah. Langit terlihat cerah, birunya disinari oleh kilaunya sinar mentari, tak jemu mata memandangi semua itu. Birunya laut sepadan dengan warna langit hari itu. Deru ombak terdengar sangat merdu, seakan-akan memilih irama spesial di dalam kalbu, selalu bernyanyi-nyanyi indah menggulung-gulung membentuk gelombang ombak. Ombak itu serasa membawa semilir hembusan angin pantai yang membisikkan kesejukan disetiap pori-pori kulit. Hamparan pasir dipinggir pantai yang luas itu, sedikit membuat kurang nyaman dimata karena terdapat setumpuk sampah, sehingga membuat orang yang memandangnya tidak betah dan langsung melarikan pandangannya jauh kedepan di hamparan air biru.
Gambaran lukisan alam yang alami itu berpadu dengan sebuah potret kehidupan yang bisa dilihat dan dirasakan dengan mengamati sebuah pondok yang terdapat persis di depan pantai itu. Pondok sederhana itu berdiri bagai sebuah kubus terbuka, tanpa jendela dan pintu disampingnya. Pondok yang sangat sederhana itu terbuat bambu dan beratapkan rumbia, yang akan menahan terik mentari yang mencoba menyengat pondok itu.
Dalam pondok itu tampak wanita separoh baya sedang asyik dengan dunianya, ibu itu tampak anggun dengan jilbabnya berwarna merah muda, berpadu dengan baju dan celana sederhana berwarna coklat dan hitam yang melekat dibadannya, ibu itu juga mengenakan sandal jepit yang terkenal dari Jepang. Dari kejauhan tampak senyum manis tergaris diwajah ibu itu, mukanya tampak berseri-seri tak ditemukan goresan lelah diwajahnya. Dengan semangat ibu itu menyapu meja dan kursi dengan sebuah kain berwarna putih agak kecoklat-coklatan, menyapu tiap embun yang menempel ditiap meja dan kursi, serta membuyarkan pasir pantai yang terbawa oleh angin. Meja dan kursi tampak mewakili sebuah kemajuan zaman, karena berbahan dasar plastik dibalut warna biru yang serasi dan sepadan dengan air asin itu. Kursi itu disusun rapi dijejerkan bergandengan dengan meja.
Perlahan-lahan tapi pasti langkah ibu itu menyusuri pondok bambunya, ia mencoba masuk kearah bagian depan pondoknya, terlihat ibu itu sedang menata barang dagangannya, ibu itu mulai menyusun bermacam-macam jenis minuman yang sering dijejerkannya disebuah semi meja yang biasa digunakan untuk menutup jendela. Disisi kanan bawah meja itu terlihat sebuah kotak berwarna orange dan merah tampak bertuliskan “Coca-Cola”. Bagai kotak ajaib, kotak itu mampu menyimapan kesejukan ditengah teriknya siang, apalagi daratan tersebut dekat dengan lautan yang menambah suhu disana lebih tinggi. Satu-persatu ibu itu memasukkan minuman kedalam kotak itu, untuk disimpan dan disulap menjadi sebuah minuman yang mampu menyegarkan tenggorokan yang kering.
Saat ibu itu asyik menata barang jualanya, datanglah 2 orang wanita menghampiri ibu itu, terlihat wanita itu membuka kotak penyimpan minuman, memilih lalu mengambil 2 botol minuman untuk dibelinya. Dikeluarkannyalah uang berwarna merah pecahan Rp 10.000,00 langsung disodorkannya pada ibu itu. Tampak rasa syukur ibu itu saat menerima uang, lalu ia bergegas untuk mengambil kembaliannya, terlihat ibu itu mengeluarkan 2 lembar uang patimura lalu memberikannya kepada wanita yang membeli barang dagangannya. Setelah transaksi sederhana itu berlangsung 2 orang wanita itu langsung meninggalkan ibu itu.
Tampak betul semangat ibu itu dalam menjalankan usaha hidupnya karena walau hari telah beranjak siang belum ada tampak tanda-tanda pondok-pondok yang berada pada kiri kanan pondok ibu itu untuk mulai berdagang seperti ibu itu, dengan bekerja lebih awal ibu itu bisa mendapatkan keuntungan ganda, ia bisa memperoleh keuntungan sedikit lebih cepat dan bisa melihat lukisan pantai di pagi hari dengan jelas, merasakan betapa biru dan cerahnya warna-warni yang tercipta dari sebuah bingkai pemandangan di pantai panjang.